Anak-anak Gelombang, Randu dan Sudut Pasar Ikan

Pemandangan Sore Pelabuhan Pulau Baii FotoDok Bagus SLE
Pemandangan Sore Pelabuhan Pulau Baii FotoDok Bagus SLE

ANAK-ANAK GELOMBANG

Bagian 1 : R a n d u

Jam 2 dinihari tiga orang remaja usia antara 15 sampai 16 tahun berjalan sempoyongan. Entah dari mana. Yang jelas dari mulut mereka keluar aroma tidak sedap dari minuman tuak yang terbuat dari air nira ataupun mayang kelapa.

Berjalan saling merangkul bahu. Mungkin untuk saling menopang agar tidak terjatuh. Terdengar kalimat-kalimat ngelantur dan tidak sopan dari mulut mereka. Kadang tertawa lepas.

Di mulut gang mereka berpisah. 2 orang melanjutkan perjalanan menuju rumah masing-masing. Sementara Randu, yang berjalan sendirian agak bersusah payah mencapai salah satu kapal nelayan yang telah menjadi rumah baginya sejak hampir satu tahun terakhir. Semenjak dia terusir dari rumah pamannya karena tanpa bisa ditahan lagi kentut di depan sang paman yang sedang makan.

Sebuah tamparan mendarat di pipinya lalu pakaiannya di lemparkan keluar. Pakaian yang tidak seberapa tersebut berserakan di halaman. Tidak tahu bagaimana perasaan sang ponakan ketika memungut satu persatu pakaian tersebut dan mengepitnya di bawah ketiak.

Tidak ada rumah lain yang akan dia tuju. Melangkah dengan berat tanpa tujuan.

Dia berhenti di taman dekat dermaga kapal nelayan. Berjarak sekitar 300 meter dari rumah adik sang bapak.

Matanya menatap langit. Tidak ada suara, tidak ada tangis dan tidak ada ekspresi. Hanya terlihat dia berkali-kali menarik nafas dalam-dalam. Mungkin sedang menata hatinya.

Randu adalah remaja 15 tahun. Hidup sebatang kara. Ayahnya meninggal terseret jaring waktu melaut, ketika dia masih berumur 7 bulan dalam kandungan. Usia 2 bulan setelah kelahiran ibunya menyusul sang ayah. Meninggal karena sakit yang tidak diketahui sebabnya.

Hingga usia 6 tahun dalam pengasuhan sang nenek yang sangat miskin dan meninggalkan sang cucu untuk selamanya seminggu sebelum tanggal ulang tahun anak dari putri satu-satunya.

Jadilah Randu hidup dari rasa kasihan orang-orang di sekitarnya. Tinggal dan pergi dari rumah satu ke rumah lainnya. Kemiskinan menjadikan para tetangga tidak bisa memelihara yatim piatu ini secara utuh.

Di saat usia 10 tahun sang paman mengajak ponakannya untuk tinggal di rumah kontrakan kecilnya. Hingga saat pakaian dibuang, kata-kata kasar, makian dan kekerasan fisik seringkali didapatkan dari keluarga sang paman. Baik dari bibi, paman ataupun sepupunya yang seusia. Semua ditahan dan tidak dirasakan demi mendapatkan keluarga dan rumah tempat pulang.

Sejak usia 10 tahun pula anak tersebut sudah merasakan kerasnya kehidupan laut. Untuk usia anak seperti dia, penghasilan melaut semestinya sudah sangat layak baginya untuk hidup yang semestinya tapi karena dia selalu memberikan pada istri sang paman untuk membantu kehidupan mereka, maka hampir saja selalu kekurangan untuk jajan.

Tubuh kurus dengan tinggi lebih dari 165 cm telah sampai pada kapal tempat dia tinggal. Sekaligus penopang kehidupannya. Pemilik kapal mengizinkan anak berwajah pas-pasan itu untuk menjadikan kapal dengan awak 6 orang itu sebagai tempat tinggal bagi Randu.

Bersusah payah tubuh dalam kondisi oleng itu memasuki kapal dan menuju tempat dia tidur. Maksud hati dia ingin segera terlelap. Walau tidak sepenuhnya sadar, matanya menemukan kalau pakaiannya yang disimpan dalam kardus sudah berantakan. Dia mencari-cari sesuatu di setiap pakaian yang berserakan. Berulangkali memeriksa dasar kardus. Tapi yang dicari malah tidak ada.

Uang dari hasilnya melaut selama tinggal di kapal ini dia simpan baik-baik di dasar kardus. Malam ini, semuanya hilang. 5 juta rupiah tidak tersisa sama sekali. Siapa yang setega itu?

Randu panik. Sesaat dia menatap langit-langit kapal dengan putus asa. Harapannya untuk membuat nisan bagi kedua orang tua dan neneknya sirna seiring lenyapnya uang tersebut.

“Tuhan….” Antara terdengar dan tidak.

Sesaat kemudian dia melangkah keluar. Terjun ke dalam air dermaga yang dalam.

“Ayaaaahhhh…..” Dia berteriak dalam air.

“Ibuuuuu….” Teriakannya menimbulkan gelembung di dalam air dan gelembung tersebut menuju permukaan.

“Neneeeeekkk….” Remaja malang ini sesenggukan di dalam air.

Muncul ke permukaan hanya untuk mengambil nafas dan kemudian menyelam kembali.

Air matanya bercampur dengan air. Tidak ada yang melihat tangisan itu. Selama dia bisa mengingat, inilah tangisan pertamanya.

Menjelang azan subuh tubuh basah itu naik ke kapal. Duduk memeluk lutut. Gerahamnya merapat menahan dingin. Tidak, dia tidak merasakan dingin. Dia menahan agar air matanya tidak turun kembali.

Azan subuh dari mesjid yang tidak jauh dari kapal di mana dia berada berkumandang merdu. Khusuk dia menyimak kata perkata. Tanpa dia inginkan, air mata kembali mengurai. Wajah basah itu dia sembunyikan di antara kedua lututnya

“Tuhan, kuatkan hati dan tubuhku…” Pintanya pada sang Pencipta. Sangat mengiris hati bagi yang mendengarnya.

Setelah azan zuhur, Anwar dan Raga memasuki kapal. Memanggi-manggil sahabat mereka. Tidak ada jawaban. Keduanya melangkah lebih dalam.

Di sudut ruang mesin, mereka menemukan Randu tertidur pulas. Meringkuk dengan pakaian yang lembab.

“Ndu, Randu, bangun!” Tidak terbangun. Anwar membangunkan lebih keras lagi. Tidak ada reaksi.

Dengan menggoyang-goyangkan bahu, Raga berusaha membuat Randu terjaga. Dan itu tidak sia-sia.

Ketika matanya sudah jelas melihat sosok 2 sahabatnya, dia tersenyum dan segera bangkit.

“Kenapa pakaianmu basah, Ndu?” Anwar sedikit khawatir dengan kondisi sahabatnya.

Dia pura-pura tidak mendengar kalimat remaja yang sedikit lebih muda darinya itu. Remaja yang dibesarkan oleh sang nenek dari bayi karena kedua orang tua bercerai sebelum dia lahir.

Sementara Raga sedikit lebih beruntung. Kedua orang tuanya masih lengkap walau dalam kondisi yang sangat kekurangan di kampung halamannya.

Lulus sekolah dasar Raga memutuskan untuk merantau. Dan dia memilih kampung nelayan ini sebagai harapan mengubah kehidupan.

Raga mengajak kedua temannya untuk meninggalkan ruang mesin yang pengap oleh aroma minyak solar. Ketiganya menuju buritan kapal. Bersenda gurau tentang kisah mereka tadi malam.

Bagian 2 : Di Sudut Pasar

Panas membakar di sudut sebuah bangunan di pinggir pasar ikan. Empat orang remaja pria usia tujuh belasan, sibuk menenggak tuak di siang yang panas. Wajah belia mereka sudah memerah. Di sekitar mereka banyak berserakan bungkus obat sakit kepala berwarna oranye.

Mereka sudah menelan paling tidak 20 butir obat kimia tersebut masing-masing perorang. Ditambah dengan tuak, maka mereka akan cepat mencapai situasi yang mereka inginkan

Bukan, bukan sepenuhnya keempat orang itu adalah remaja laki-laki. Salah satunya adalah perempuan dengan gaya dan tingkah laku bagai pria.

“Val, jadilah. Nanti kamu mabuk berat.”

Yoyog, si hitam manis mencegah tangan Reval ketika akan memasukkan 10 butir lagi obat sakit kepala ke mulutnya. Reval, si tomboy tidak perduli.

“Biarlah jok, aku memang mau mabuk. Kalau bisa 3 hari 3 malam tidak sadar. Aku sudah muak dengan kenyataan yang aku hadapi.”

“Sudahlah jok… Kita semua punya masalah masing-masing. Kamu tau kan kalau aku mabuk ini untuk melupakan bagaimana penghianatan ibuku pada ayahku? Pergi dengan laki-laki lain di saat ayahku sedang berjuang mengarungi gelombang untuk memenuhi kebutuhan kami?”

“Ai diam la kamu, jok. Tambah pusing aku ni.” Kiki, yang bertubuh paling kecil di antara mereka menimpali dengan kasar kalimat Yoyog.

Yoyog, remaja yang melankolis akhirnya menangis ketika mengingat itu semua. Terutama saat dia berusia dua tahun dititipkan oleh sang ibu kepada neneknya. Karena sang ibu yang masih berusia 16 tahun tidak bisa dan tidak mau merawat sang anak. Sang ibu masih ingin bermain dengan teman-temannya.

Kepalanya yang berat dia sandarkan ke dinding di belakangnya.

Reval sudah menelan 10 butir samkodin dengan bantuan minuman energi gelasan. Dia ikut bersandar di dinding.

Kiki menyeruput tuak dalam plastik dengan pipet. Seteguk, dua teguk…hingga sepuluh tegukan di antara semua dia yang paling mabuk.

Tadi pagi dia baru saja mendarat dari melaut selama lebih dari dua minggu. Begitu menginjakkan kaki di pintu rumah, dia mendengar keributan antara ayah tirinya dan sang ibu. Entah apa saja yang diributkan. Tapi yang terdengar jelas adalah sang ayah tiri keberatan dengan keberadaannya di rumah tersebut.

Kiki mengurungkan niatnya untuk masuk rumah. Ikan yang dia bawa ditinggalkan begitu saja di depan pintu. Selanjutnya dia ingin mabuk saja.

Di sini, di depan teman-temannya dia memendam apa yang dia dengarkan tadi pagi.

Reval mulai meracau. Perempuan berpenampilan laki-laki ini juga memiliki kisah yang pilu. Sejak kelas tiga SD dia sudah mengalami kekerasan seksual dari orang-orang sekelilingnya. Bahkan dari teman ayahnya. Setelah selesai, orang-orang bejad itu memberi uang pada korbannya yang masih anak-anak.

Menginjak remaja dia mengubah penampilannya. Memotong pendek rambut, mengganti rok dengan celana pendek, dan blus dengan kemeja atau kaos oblong. Gadis cantik itu berubah menjadi pemuda tampan dan jarang mandi.

Melihat perubahan itu keluarga dan tetangga geger. Dari perubahan itu sudah mulai berkurang kekerasan yang dia alami.

Dari tadi yang selalu kelihatan gelisah adalah Anto. Anak yang terusir dari kampung halamannya karena kebiasaan dia dan dua saudaranya, keduanya juga anak laki-laki, yang meresahkan warga sekitar. Di usia yang sangat belia mereka sudah menjadi pencuri yang handal disebabkan oleh kemiskinan keluarganya.

Dan kebiasaan itu masih berlanjut di kampung mereka yang baru saat ini.

Dia sengaja untuk diam. Tidak ingin banyak bicara. Tubuh gempalnya di baringkan di sudut dinding. Sedikit menjauh dari tiga temannya.

Dia juga tidak ingin mabuk.

Matahari makin tinggi. Panasnya menyengat. Empat orang remaja itu mulai merebahkan tubuh di tanah yang kotor. Rimbun pohon menghalangi sinar matahari menerpa tubuh mereka.

Di depan mereka, pasar ikan sudah sepi. Kilau air laut yang memantulkan sinar matahari membuat silau mata yang memandang.

Aroma amis ikan bercampur dengan darah dan isi perut mahkluk laut tersebut menyeruak ke udara. Baunya membuat mau muntah bagi orang-orang yang belum terbiasa.

Kicau burung gereja bercicit di atas kepala, di antara ranting-ranting pohon.

Dari hp Yoyog menggelegar lagu-lagu DJ. Mengiring mereka ke tempat yang tinggi, tempat yang tidak dapat mereka sentuh.

Anak-anak Gelombang
Oleh : Bagus SLE