Lalai Atasi Banjir, Warga Bisa Gugat Class Action Pemerintah

Oleh : Elfahmi Lubis

Dalam beberapa hari ini Kota Bengkulu, dikepung oleh banjir. Dibeberapa kawasan, banjir telah menenggelamkan pemukiman penduduk dan akses jalan mengalami kelumpuhan. Ditaksir kerugian yang dialami warga ratusan juta rupiah. Mulai dari kerugian yang disebabkan kerusakan perabot dan peralatan rumah tangga, kerusakan lahan pertanian, dan kerugian karena tidak bisa melakukan aktivitas usaha dan ekonomi.

Selama ini, tidak ada tindakan nyata dan tanggung jawab pemerintah untuk menggantikan kerugian warga yang terdampak banjir. Bantuan pemerintah hanya bersifat tanggap darurat, dalam bentuk dapur umum, sembako, dan kebutuhan sehari-hari warga saja, dan itupun tidak mampu menjangkau seluruh mereka yang terkena dampak. Padahal dalam konteks bencana yang disebabkan oleh abainya negara/pemerintah, setiap warga negara diberikan ruang untuk mengajukan gugatan ganti rugi secara hukum. Hal itu merupakan konsekuensi karena pemerintah telah diberikan mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan untuk memberikan pelayanan dan memenuhi kewajiban konstitusional setiap warga negara.

Persoalan banjir ini tidak bisa dilihat sebagai peristiwa alam biasa, tetapi juga disebabkan oleh faktor non alam yaitu terjadinya kerusakan lingkungan. Dalam konteks ini, diduga ada andil negara/pemerintah yang ikut menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan, terutama dalam aspek administratif. Sebagaimana diketahui berdasarkan data yang dirilis berbagai pihak, setidaknya ini penyebab utama banjir di Kota Bengkulu, yaitu: 1) Persoalan di Daerah Hulu Sungai (DUS), terkait aktivitas pertambangan, HGU, dan kerusakan hutan, 2) Daerah Aliran Sungai (DAS), terkait penyempitan hampir seluruh badan sungai, 3) Daerah Hilir Sungai (DIS), terkait pendangkalan dan sedimentasi sungai, termasuk aktivitas penumpukan sampah, 4) Daerah Resapan Air (DRA), berkaitan dengan tinggi aktivitas perumahan, pemukiman dan pembangunan fisik.

Dilihat dari penyebab terjadinya banjir di atas, menunjukkan bahwa ada andil pemerintah didalamnya. Terkait soal aktivitas pertambangan dan HGU, ada domain pemerintah dalam memberikan izin pertambangan maupun penerbitan HGU perkebunan skala besar dan menengah, serta penegakan hukum bagi pembalakan liar kawasan hutan. Pertanyaan, apakah dalam pemberian izin tersebut pemerintah telah melakukan kajian AMDAL dan dampak turunan yang ditimbulkan. Jika terbukti pemerintah “obral” perizinan dan menyebabkan terjadinya bencana seperti banjir, maka dalam perspektif inilah negara/ pemerintah dapat digugat, baik secara administratif dan keperdataan, dan bila pemberian izin tersebut ada unsur KKN, maka juga dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya.

Sementara itu jika banjir yang terjadi saat ini karena kerusakan daerah resapan air (DRA), ini artinya berkaitan dengan aktivitas perumahan, pemukiman, dan pembangunan fisik. Dalam konteks ini juga ada andil negara/ pemerintah didalamnya, yaitu berkaitan dengan pemberian izin perumahan dan pemukiman, serta aktivitas pembangunan fisik lainnya. Apakah perizinan yang diberikan sudah merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada. Begitu juga dengan persoalan daerah aliran sungai (DAS) dan daerah ilir sungai (DIS), apakah negara dan pemerintah sudah melaksanakan kewajibannya dalam program dan proyek naturalisasi sungai, merdeka sampah, pengerukan sungai, tanggul, dan sistem drainase.

Ada beberapa varian gugatan hukum yang bisa dilakukan warga terdampak banjir, diantaranya adalah mengajukan gugatan class action (gugatan kelompok) dan atau gugatan netizen lawsuit. Class action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Dengan pengertian class action di atas, maka kerugian yang dimiliki masyarakat dari banjir yang melanda Kota Bengkulu dan daerah lain di luarnya dapat digugat. Persyaratan dan tata cara untuk melakukan class action sudah diatur secara rinci dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002.

Sementara itu dalam Pasal 6 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan penanggulangan bencana. Termasuk kegiatan melindungi masyarakat dari dampak bencana, menjamin pemenuhan hak masyarakat yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum, serta mengurangi risiko bencana. Jika ada sengketa terkait penanggulangan bencana itu, masyarakat dapat menyelesaikannya di luar atau di dalam pengadilan.

Pemerintah juga dapat digugat karena diduga melanggar UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Tata Ruang). Pasal 66 UU Tata Ruang menyatakan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. Sedangkan yang dimaksud penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.

Negara juga dapat digugat karena dianggap melakukan kelalaian dengan batu uji pelanggaran UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berkaitan tanggung jawab mutlak (strict liability). Dalam hal ini masyarakat bisa menggugat fenomena banjir sebagai akibat dari kerusakan lingkungan hidup. Pemerintah bisa dinilai tidak melakukan apa-apa sehingga banjir terus terjadi.

Mengenai pilihan forum gugatan, bahwa gugatan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah kini menjadi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut diatur dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).

Hal ini merujuk UU No. 30/14 tentang Administrasi Pemerintahan yang mempertegas kompetensi mengadili dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap segala segala perbuatan melawan hukum pemerintah (onrechtmatig oversdaad), baik yngg lahir dari penetapan administrasi (beschikking), maupun tindakan nyata (feitlijke handelingen) yg menimbulkan kerugian bagi seseorang, badan hukum perdata, dan masyarakat umum.

Rosa Agustina (2019) dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, menentukan 4 syarat kualifikasi melawan hukum. Pertama, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. Kedua, bertentangan dengan hak subjektif orang lain. Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan. Terakhir, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.